Dari Sa'id bin Musayyab Radhiyallahu anhu, bahwa ia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, "Wahai Sa'id, apakah Allah akan menyiksa saya karena shalat?", lalu Sa'id menjawab :"Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah"

[SHAHIH. HR Baihaqi dalam "As Sunan Al Kubra" II/466, Khatib Al Baghdadi dalam "Al Faqih wal mutafaqqih" I/147, Ad Darimi I/116].



I'TIDAL, TANGAN LURUS ATAU SEDEKAP ?

Share/Bookmark
Posted By Abu Ayaz

Kategori : ,

Sudah di lihat :



Oleh : Ust. Dzulqarnain

Adapun dalam tata cara i'tidal ulama berbeda pendapat menjadi dua pendapat, pertama mengatakan sedekap dan yang kedua mengatakan tidak bersedekap tapi melepaskannya. Tapi yang rajih menurut kami adalah pendapat pertama. Bagi yang hendak mengerjakan pendapat yang pertama tidak apa-apa dan bagi siapa yang mengerjakan sesuai dengan pendapat kedua tidak mengapa.

Keterangan untuk pendapat pertama: Kembali meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri atau menggenggamnya dan menaruhnya di dada, ketika telah berdiri (lihat gambar). Hal ini berdasarkan nash dibawah ini:

Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam An-Nasa-i yang artinya: "Ia (Wa-il bin Hujr) berkata: "Saya melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam apabila beliau berdiri dalam sholat, beliau memgang tangan kirinya dengan tangan kanannya."

Berkata Al-Imam Al-Bukhari dalam shahihnya: "Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah, ia berkata dari Malik, ia berkata dari Abu Hazm, ia berkata dari Sahl bin Sa'd ia berkata: "Adalah orang-orang (para shahabat) diperintah (oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ) agar seseorang meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya dalam sholat." Komentar Abu Hazm: "Saya tidak mengetahui perintah tersebut kecuali disandarkan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ."

Komentar dari Syaikh Abdul 'Aziz bin Abdillah bin Baaz (termaktub dalam fatwanya yang dimuat dalam majalah Rabithah 'Alam Islamy, edisi Dzulhijjah 1393 H/Januari 1974 M, tahun XI): "Dari hadits shahih ini ada petunjuk diisyaratkan meletakkan tangan kanan atas tangan kiri ketika seorang Mushalli (orang yang sholat) tengah berdiri baik sebelum ruku' maupun sesudahnya. Karena Sahl menginformasikan bahwa para shahabat diperintahkan untuk meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya dalam sholat. Dan sudah dimengerti bahwa Sunnah (Nabi) menjelaskan orang sholat dalam ruku' meletakkan kedua telapak tangangnya pada kedua lututnya, dan dalam sujud ia meletakkan kedua telapak tangannya pada bumi (tempat sujud) sejajar dengan keddua bahunya atau telinganya, dan dalam keadaan duduk antara dua sujud begitu pun dalam tasyahud ia meletakkannya di atas kedua pahanya dan lututnya dengan dalil masing-masing secara rinci. Dalam rincian Sunnah tersebut tidak tersisa kecuali dalam keadaan berdiri. Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwasanya maksud dari hadits Sahl diatas adalah disyari'atkan bagi Mushalli ketika berdiri dalam sholat agar meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya. Sama saja baik berdiri sebelum ruku' maupun sesudahnya. Karena tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membedakan antara keduanya, oleh karena itu barangsiapa membedakan keduanya haruslah menunjukkan dalilnya. (Kembali pada kaidah ushul fiqh: "asal dari ibadah adalah haram kecuali ada penunjukannya" -per.)

Disamping itu ada pula ketetapan dari hadits Wa-il bin Hujr pada riwayat An-Nasa-i dengan sanad yang shahih: Bahwasanya apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri dalam sholat beliau memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya."

Wallaahu a'lamu bishshawab.

Thuma-ninah dan Memperlama Dalam I'tidal

"Kemudian angkatlah kepalamu sampai engkau berdiri dengan tegak [sehingga tiap-tiap ruas tulang belakangmu kembali pata tempatnya]." (dalam riwayat lain disebutkan: "Jika kamu berdiri i'tidal, luruskanlah punggungmu dan tegakkanlah kepalamu sampai ruas tulang punggungmu mapan ke tempatnya)."
(Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim, dan riwayat lain oleh Ad-Darimi, Al-Hakim, As-Syafi'i dan Ahmad)

Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri terkadang dikomentari oleh shahabat: "Dia telah lupa" [karena saking lamanya berdiri]. (Hadits dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari, Muslim dan Ahmad)

__________________________

CARA BERDIRI I’TIDAL


YANG BERHUBUNGAN DENGAN MENGANGKAT TANGAN DAN BERTAKBIR KETIKA TURUN SUJUD.

Sudah saya sertakan riwayat bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat tangannya ketika takbir turun sujud. Riwayat itu adalah dari jalan Umar radhiallahu 'anhu (lihat riwayat ke – 8 )
Lalu :
A. Ada yang meragukan tentang keshahihan hadits riwayat Thabrani tersebut.
B. Saudara A.T berpendapat bahwa riwayat Thabrani itu berlawanan dengan riwayat no.9 dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam “tidak mengangkat tangan waktu sujud”. Maka yang dipakai adalah riwaat no.9 karena ia lebih kuat (ditarjih).

DARI SAYA:
1. Tentang keraguan keshahihan riwayat Thabrani. Riwayat Thabraniy itu begini: (HADITS KE-16)
عَن ابن عمر أنّ النبي صلى الله عليه وسلّم كان يرفع يدَيْه عند التَّكْبِيْرِ للرُّكُوْعِ وعند التّكبير حين يَهوِي ساجِدًا.

Riwayat ini terdapat dalam kitab maj-ma’uzzawaaid, juz II hal 102. setelah meriwayatkan hadits itu Al-Haitsami berkata: (RIWAYAT KE-17)

رَوَاهُ الطَّبْرَانيِ في الأَوْسَطِ وهوَ في الصَّحِيحِ خَلاَ التَّكْبِيرِ لِلسَُجُوْدِ وَاسْنَادُهُ صَحِيْحٌ.

"Hadits itu diriwayatkan Thabrani dalam kitabnya: Al-Aushatd dan hadits itu ada dalam Shahih (Bukhari), selain (hal) takbir untuk sujud dan isnadnya shahih".

Sesudah mengetahui ini, kalau saudara yang meragukan itu masih juga ragu-ragu, tolong tunjukkan kelemahan sanadnya. Siapa rowi yang tercela.
2. Tentang berlawanan dengan riwayat no.9 di atas. Dalam diriwayat no.9 itu dikatakan: ( HADITS KE – 18 )
وَلاَيَفْعَلُ ذلكَ حِيْنَ يَسْجُدُ.

Artinya : Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berbuat demikian (angkat tangan) ketika sujud.

Sedang hadits no.16 menyatakan “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat tangan”.
Kedua riwayat itu dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhu, nampaknya berlawanan. Karena itu perlu didudukkan begini:
riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhu itu ( no.18 ) bermacam-macam susunannya seperti di bawah ini:
( HADITS KE – 19 )
ولايفعل ذلك في السجود. رواه البخاري

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berbuat demikian (angkat tangan) dalam sujud. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari".

(HADITS KE-20)
ولايفعل ذلك حين يَسْجُدُ. البخاري

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak berbuat demikian waktu sujud. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari".

(HADITS KE-21)
ولايَرْفَعُهُما بين السَّجْدَتَيْنِ. مسلم

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengangkat kedua tangannya di antara dua sujud. Diriwayatkan oleh Imam Muslim".

(HADITS KE-22)
ولايفعل حِيْنَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ من السُّجُوْدِ. مسلم

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengerjakan itu ketika mengangkat kepalanya dari sujud. Diriwayatkan oleh Imam Muslim".

Padalah ceritanya satu, kalau kita perhatikan 4 macam susunan itu adalah yang no.19 itu sebagai pokok, yaitu tidak mengangkat tangan dalam sujud. “tidak mengangkat tangan antara dua sujud” no.21 dan “tidak ketika mangangkat kepala dari sujud” no.22 termasuk “dalam sujud” no.19 itu.

Maka “حين يسجد” yang ada dalam keterangan no.9,8 dan 20 artinya adalah “waktu sujud”, yakni dalam sujud -bukan hendak turun sujud-. Makna ini sesuai dengan “في السجود” no.19.

Dalam qamus Al-Mu’jamul washit disebut :
الحِينُ وَقْتٌ من الدَّهْرِ مُبْهَمٌ طَالَ أو قَصُرَ.

 “al-hiin” itu satu waktu dari masa yang tidak terang, baik panjang atau pendek".

Dalam lisanul arab disebut:
1. waqtun : waktu.
2. muddatun : masa.

Selain itu, kata-kata “hiin” itu dapat diartikan “sesudah”, seperti hadits:
مَن قَالَ حِيْنَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ: اللهم…. الخ إلاَّ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعةُ يومَ القِيَامةِ. الترمذي وغيره

"Barang siapa mengucap sesudah ia mendengar adzan “Allahumma sampai akhir” pasti turun syafa’at atasnya pada hari qiamat. Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan yang lain".

Ini do’a adzan, diucapkan sesudah adzan, tidak ketika adzan. Karena kita diperintah menjawab adzan. Kata al-Mubaarkafury (Tuhfatul-Ahwadzy 1:622) bahwa do’a itu diucapkan di waktu selesai adzan.

Maka arti “hiina yasjudu” itu ialah: sesudah sujud, yaitu sesudah sujud pertama, berarti di dalam sujud, bukan akan sujud.

Dengan begini, maka riwayat Ibnu Umar radhiallahu 'anhu dari Thabrani itu tidak berlawanan dengan riwayat Bukhari dan Muslim tersebut. Masing-masing dipakai pada tempatnya.

Riwayat Thabrani yang ada “angkat tangan” dipakai untuk “turun sujud” (sebelum sujud), sedang riwayat Bukhari dan Muslim yang “tidak angkat tangan” dipakai dalam sujud.

1. Ada pendapat bahwa tidak ada keterangan “berdekap itu rukun”.
JAWAB : Memang tidak ada keterangan yang mengatakan “berdekap” itu rukun atau syarat.

Tetapi yang nyata bahwa “berdekap” itu diperintah sebagaimana telah disebutkan di atas.

Tiap perintah wajib dikerjakan “kecuali kalau ada keterangan lain yang mengubahnya”.

2. Ada yang berpendirian bahwa sedekap itu “bid’ah”.
JAWAB: Sesudah jelas bahwa “berdekap” itu diperintah, maka “berdekap” itu bukan “bid’ah”.

3. Syaikh M. Nashiruddin Al-Bany dalam kitabnya “Shifat Shalat Nabi sshallallahu 'alaihi wa sallam” hal.145 berpendapat bahwa “berdekap” itu bid’ah.
JAWAB: Memang ada perkataan Syaikh Al-Bany tersebut, tetapi beliau tidak membawakan hadits atau riwayat, hanya beliau berkata:
a. Karena tidak ada dalam hadits (tentang berdekap itu).
b. Ulama’ salaf tidak mengerjakannya.
c. Para Imam hadits tidak menyebutnya.
d. Pendapat Imam Ahmad boleh “berdekap” itu tidak dapat diterima karena itu ijtihadnya.

Jawaban menurut tertib abjad di atas:
a. Hadits yang memerintahkan berdekap ada dari Sahl bin Sa’d, ia berkata:
كانَ النَّاسُ يُؤْمَرُ أن يَضَعَ الرَّجُلُ يَدَهُ اليُمْنٰى على ذِرَاعِهِ في الصَّلاَةِ. البخاري

"Adalah orang-orang diperintah (oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) supaya meletakkan tangan kanannya atas lengan kirinya dalam shalat. SR. Bukhari".

Dan ada beberapa riwayat lagi sebagaimana telah disebut. Mungkin waktu membaca riwayat tersebut dan sebagainya tidak terfikir soal “berdekap”, karena lalai dengan kebiasaan yang sudah bertahun-tahun lamanya.

b. Bukan ulama’ salaf “tidak mengerjakannya”, tetapi tidak ada riwayat yang tegas menerangkan mereka mengerjakannya. Kita percaya mereka mengetahui perintah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam itu dan kita percaya pula bahwa mereka mesti mengerjakannya, walaupun riwayatnya tidak sampai kepada kita.
c. Para Imam hadits tidak menyebut riwayat salaf itu, tidak berarti “tidak dilakukan”, dapat dicukupkan dengan “perintah” berdekap sebagaimana tersebut dalam riwayat Bukhari di atas.
d. Pendapat Imam Ahmad, sebagaimana Syaik Al-Bany terangkan: “boleh digantungkan tangan” dan “boleh berdekap”. Kalau begini, memang tidak diterima, tetapi soal “berdekap” mesti diterima karena telah sesuai dengan perintah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Bukhari di atas.

Riwayat Imam Ahmad ini menunjukkan bahwa di zaman Imam Ahmad (wafat tahun 241H). sudah ada masalah “berdekap” itu.

Tentang pendapat Syaik Al-Bany bahwa “berdekap” itu bid’ah, dijawab oleh Syaikh Bin Baaz, di antaranya:

* Menentukan bahwa meletakkan tangan kanan atas tangan kiri waktu berdiri sesudah ruku’ itu bid’ah yang sesat adalah satu kesalahan yang nyata, tidak ada seorang pun dari ahli ilmu sepanjang pengetahuanku mendahului dia (tentang mengatakan bid’ah itu) dan pendapat itu menyalahi hadits-hadits shahih yang terdahulu.

* Aku (Bin Baaz) tidak ragu-ragu tentang ilmunya (Al-Bany), keutamaanya, keluasan pengetahuanya dan perhatiannya kepada sunnah. Mudah-mudahan Allah menambah ilmunya dan taufiqnya, tetapi sesungguhanya ia (Al-Bany) telah salah dalam masalah ini, satu kesalahan yang terang.

* Lalu Syaikh Bin Baaz menunjukkan hadits dan riwayat adanya “bersedekap”.

* Lalu Syaik Bin Baaz mendo’akan mudah-mudahan sesudah membaca hadits dan riwayat yang ia kemukakan, akan ternyata kebenaran bagi Al-Bany, lalu ia ruju’ kepada yang benar itu.

4. Hukum “berdekap” dalam shalat sesudah bangun dari ruku’ itu adalah wajib (lihat no.1).
5. Ada yang perpendapat bahwa “menggantungkan tangan” adalah sebagai pokok dari perilaku manusia, karena itu setelah bangun dari ruku’ tangan harus digantungkan.
JAWAB: kita anggap saja pendapat itu benar, tetapi setelah ada hadits Bukhari yang memerintah “berdekap” dalam shalat, maka yang dikatakan “pokok” itu sudah tidak terpakai untuk shalat.

Malah “bersedekap” itulah yang menjadi pokok dalam shalat dalam berdiri, yang ringkasnya di semua ketika berdiri dalam shalat harus “berdekap”.

6. Tentang qaidah ushul yang disertakan dalam mendudukkan keterangan soal i’tidal itu cukuplah kalau diperhatikan keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan di atas.

Saya sudahi sampai sekian dulu.


TAMBAHAN :
Disamping dalil umum wajibnya meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri di dada ketika berdiri dalam shalat, adanya sedekap juga dapat disimpulkan dari riwayat di bawah ini:
عنْ وَائِلِ بن حُجْرٍ قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلّم حِيْنَ كَبَّرَ رَفَعَ يَدَيْهِ خَذَاءَ أُذُنَيْهِ ثُمَّ حِيْنَ رَكَعَ ثُمَّ حَيْنَ قَالَ سَمِعَ الله لِمَنْ حَمِدَه رَفَعَ يَدَيْهِ وَرَأَيْتُهُ مُمْسِكاً بِيَمِيْنِهِ عَلى شِمَالِهِ في الصَّلاَةِ. أحمد

"Dari Wail bin Hujr, ia berkata: saya pernah melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ketika bertakbir beliau mengangkat kedua tangannya hingga berbenturan dengan kedua telinganya, kemudian juga (mengangkat tangan) ketika ruku’, kemudian ketika mengucap “samia’LLAHU liman hamidah” (juga mengangkat kedua tangannya), dan pada waktu itu saya melihatnya dalam keadaan memegang dengan tangan kanannya atas tangan kirinya dalam shalat….". HR. Ahmad.

Ucapan Wail bin Hujr dalam hadits tersebut “ra’aituhu mumsikan bi yaminihi ‘ala syimaalihi” merupakan petunjuk yang sangat jelas, bahwa setelah bangkit dari ruku’ (ketika berdiri I’tidal) tangan kanan berada di atas tangan kiri dan tentu saja letaknya di dada, karena ada riwayat lain yang menerangkan demikian, sebagaimana berikut ini:
عنْ وَائِلِ بنِ حُجْرٍ قال: صَلَّيْتُ مع النَّبيِّ صلى الله عليه وسلّم فَوَضَعَ يَدَهُ اليُمْنٰى على يَدِهِ اليُسْرٰى على صَدْرِهِ. ابن خُزَيْمَة

"Dari Wail bin Hujr, ia berkata: saya pernah shalat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ia meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di dadanya". HR. Ibnu Khuzaimah.

Kalau riwayat di atas masih dianggap belum cukup, maka berikut ini adalah kesaksian lain dari Wail bin Hujr ketika ia shalat bersama nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :
صَلَّيْتُ خَلْفَ رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلّم فَكَبَّرَ حِيْنَ دَخَلَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ وحَيْنَ أرَادَ أنْ يَرْكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ وَحِيْنَ رَفَعَ رَأْسَهُ مَنَ الرُّكُوْعِ رَفَعِ يَدَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ….. أحمد

"Saya pernah shalat di belakang Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ia bertakbir ketika masuk (memulai shalat) dan mengangkat kedua tangannya, dan ketika akan ruku’ ia angkat kedua tangannya dan ketika mengangkat kepalanya dari ruku’ ia juga mengangkat kedua tangannya dan ia meletakkan kedua telapak tangannya". HR Ahmad.

Riwayat yang terakhir inipun cukup terang menjelaskan bahwa ketika bengkit dari ruku’ beliau mengangkat kedua tanganya dan kemudian meletakkan kedua telapak tangannya.

Meskipun pada riwayat ini tidak dijelaskan di mana kedua telapak tangannya diletakkan, tetapi riwayat lain (sebagaimana yang tersebut di atas) menerangkan bahwa yang dimaksud adalah di dada. Adapun waktunya setelah bangkit dari ruku’ yaitu ketika berdiri I’tidal.

Mudah-mudahan dengan beberapa riwayat tersebut di atas cukup menyakinkan kita terhadap kebenaran sedekap pada waktu berdiri I’tidal.

Untuk lebih jelasnya lihat Musnad Imam Ahmad bin Hanbal julid IV halaman 318.

Sumber :
http://www.4shared.com/file/111899239/647d2fe6/11_Ketika_Itidal_Posisi_Tangan_Sedekap_atau_Dijulurkan_-_Kajian_Koreksi_Beberapa_Kesalahan_Dalam_Sholat__oleh_Ust_Dzulqarnain.html


Share

Comments (0)

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.