PENJELASAN MAJMA’ AL FIQH AL ISLAMI SEPUTAR HUKUM SYAR’I TENTANG IKUT SERTA DALAM PT BIZNAS DAN PERUSAHAAN-PERUSAHAAN MULTI LEVEL MARKETING SEMISAL LAINNYA
Alhamdulillah, semoga shalawat dan salam tercurah selalu atas makhluk Allah termulia, juga atas para sahabat dan orang-orang yang komitmen kepadanya.
At takyiif al fiqhi (tinjauan fiqih) terhadap peraturan PT Biznas -dan perusahaan-perusahaan Multi Level Marketing lainnya- :
Setelah mempelajari peraturan (bisnis) PT Biznas -dan perusahaan-perusahaan Multi Level Marketing semisalnya- dengan perantara (bantuan) Badan Urusan Perekonomian dan Keuangan di Majma’ al Fiqh al Islami, dapat disimpulkan bahwa :
PERTAMA
Mendapatkan produk yang terdapat pada perusahaan-perusahaan bersistem Multi Level Marketing (selanjutnya disebut MLM, Red), bukanlah target utama para anggotanya; akan tetapi yang menjadi target dan motivator utama untuk bergabung menjadi anggotanya ialah, penghasilan yang akan didapatkan oleh anggota tersebut melalui peraturan (bisnis perusahaan) ini.
Alhamdulillah, semoga shalawat dan salam tercurah selalu atas makhluk Allah termulia, juga atas para sahabat dan orang-orang yang komitmen kepadanya.
At takyiif al fiqhi (tinjauan fiqih) terhadap peraturan PT Biznas -dan perusahaan-perusahaan Multi Level Marketing lainnya- :
Setelah mempelajari peraturan (bisnis) PT Biznas -dan perusahaan-perusahaan Multi Level Marketing semisalnya- dengan perantara (bantuan) Badan Urusan Perekonomian dan Keuangan di Majma’ al Fiqh al Islami, dapat disimpulkan bahwa :
PERTAMA
Mendapatkan produk yang terdapat pada perusahaan-perusahaan bersistem Multi Level Marketing (selanjutnya disebut MLM, Red), bukanlah target utama para anggotanya; akan tetapi yang menjadi target dan motivator utama untuk bergabung menjadi anggotanya ialah, penghasilan yang akan didapatkan oleh anggota tersebut melalui peraturan (bisnis perusahaan) ini.
Sebagaimana tujuan perusahaan ini, yaitu membangun jaringan yang (beranggotakan) beberapa orang (yang berturut-turut berbasis dua orang); sehingga asasnya terus meluas sampai berbentuk piramid. Anggota yang beruntung, (ia) berada di puncak piramid dan mengepalai tiga lapisan (para anggota) di bawahnya. (Anggota-anggota) paling bawah (selalu) membayar kepada (anggota-anggota terdahulu) yang berada di atas mereka.
PRODUK (YANG MEREKA KLAIM) ADALAH ABSTRAK (DAN) TIDAK ADA (WUJUD) YANG SESUNGGUHNYA
Produk tersebut tidak lain hanyalah sebagai kedok bisnis (agar bisa) diterima untuk dibangun di atasnya izin perundang-undangan; karena sebagian besar undang-undang negara di dunia ini melarang bisnis bersistem mata rantai piramid, yang setiap anggotanya membayar uang hanya sebagai bukti keikutsertaannya saja pada sistem (bisnis ini), tanpa perantara ataupun produk yang bisa digunakan.
Maka, ketika hukum-hukum syariat dibangun di atas tujuan-tujuan dan makna-maknanya; tidak di atas lafazh-lafazh dan bentuk-bentuknya, sesungguhnya produk tersebut jatuh (tidak ada wujudnya) tatkala ditinjau secara hukum fiqih (at takyif al fiqh) terhadap PT Biznas dan perusahaan-perusahaan lain yang mirip dengannya.
Dengan demikian, maka perkara sesungguhnya -ditinjau dari sisi fiqih- tidak lain hanya menghimpun keikutsertaan -dari beberapa orang- yang dioperasikan oleh perusahaan, dengan pembayaran yang (terus-menerus) dilakukan oleh anggota-anggota yang berada di posisi bawah piramida, dan dimanfaatkan oleh orang-orang yang berposisi di puncak piramida. Ditambah lagi dengan uang komisi dari perusahaan; yang propagandanya ialah “Anda akan rugi besar jika terlambat bergabung bersama kami walau hanya sehari saja. Semakin lama Anda menunggu, semakin besar kerugian Anda. Mulailah sekarang juga!”
KEDUA
Seorang anggota tidak mungkin memperoleh pendapatan -dengan yakin- kecuali jika terkumpul di bawahnya tiga lapisan (anggota lainnya), dan ketiga lapisan terakhir yang tersusun pada sistem piramida ini, (keadaan mereka) selalu berada dalam spekulasi (pertaruhan) -selalu terancam kerugian- karena mereka (tiga lapisan tersebut) selalu membayar komisi kepada yang di atas mereka, dengan besar harapan (setiap orang dari mereka) ingin berada di puncak piramida. Akan tetapi, hal itu tidak mungkin terjadi, kecuali dengan merekrut para anggota baru lainnya agar mereka berada di bawahnya lagi. Sehingga, dengan demikian, merekalah (anggota yang terbaru tersebut, Red) terancam kerugian … dan begitulah seterusnya.
Dengan demikian, terjadinya kerugian adalah (hal) yang pasti terjadi untuk berkembangnya piramida. Dan tidak (akan pernah) mungkin (terjadi) -kapanpun waktunya- keuntungan bisa didapatkan oleh seluruh anggota (perusahaan ini). Bahkan yang terjadi ialah, keuntungan yang didapatkan oleh sebagian kecil dari mereka, (yakni) dengan mengorbankan sejumlah besar anggota lainnya. Dan sesungguhnya perbandingan terendah terhadap orang-orang yang terancam kerugian adalah (9:1) di setiap lapisan piramida tersebut. Dari sini (menjadi) jelas, bahwa mayoritas yang menanggung dampak spekulasi –selamanya- dari seluruh anggotanya ialah yang berada di lapisan terbawah piramida tersebut, dengan (selalu) membayar kepada yang di atasnya; sedangkan mereka tidak mengetahuinya. Apakah di bawah mereka terbentuk tiga lapisan sehingga beruntung? Ataukah tidak terbentuk sehingga merugi membayar kepada yang berada di atas mereka? (Sehingga) tidak diragukan lagi, jenis taruhan inilah (yang disebut dengan) judi. Asal qimar (judi) -sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyah- ialah: “Diambilnya harta seseorang, sedangkan dia dalam taruhan; apakah dia akan mendapatkan kembali gantinya ataukah tidak?!”
Dan hakikatnya, praktek bisnis semacam ini terbentuk dari beberapa mata rantai perjudian; harta (yang dijadikan) taruhan tersebut dijamin dengan produk, (lalu) diselinapkan dalam harganya.
(Bahkan sesungguhnya) mata rantai perjudian yang ada di perusahaan-perusahaan bisnis berjaringan semacam ini bercampur dengan mata rantai lainnya yang tiada batas. Orang yang beruntung adalah yang terlebih dahulu masuk jaringan, yang kepadanyalah arus pemasukan (uang keuntungan) mengalir dengan derasnya dan terus tampak tiada habis-habisnya -sesuai luasnya jaringan yang ia miliki yang terdiri dari orang-orang yang berada setelahnya-.
Adapun orang yang bertaruh ialah (yang berada) di lapisan bawah (terakhir) yang (selalu) berangan-angan untuk terus naik dan terus berkembang jaringannya, dengan bertambahnya orang-orang setelahnya, yang mereka terus dipenuhi angan-angan untuk bisa mengeruk kentungan tanpa perlu bekerja produktif. Selamanya, tiga lapisan yang paling akhir selalu berspekulasi (dalam taruhan) secara terus-menerus dan dalam setiap saat seiring berkembangnya piramida. Inilah makna qimar (judi atau taruhan).
PERBEDAAN ANTARA BISNIS MLM DENGAN SAMSARAH (PERCALOAN)
As samsarah ( السَّمْسَرَةُ ) -dalam jual beli- adalah sebuah akad, yang dengannya, si calo mendapatkan komisi atas usahanya sebagai perantara dalam penjualan atau pembelian barang perniagaan. Sedangkan bisnis Multi Level Marketing (MLM) -yang dipraktekkan PT Biznas dan yang semisalnya- adalah sebuah cara dari pemasaran sebuah produk untuk membangun jaringan yang terdiri dari para anggota -dalam bentuk dimensi (piramida) yang berturut-turut- yang setiap anggotanya, di dalam jaringan tersebut berperan sebagai puncak piramida. Dan dalam jaringan tersebut, setiap anggota baru membayar uang-uang komisi kepada yang berada di atasnya.
Atas dasar ini, maka sesungguhnya sistem muamalah PT Biznas dan MLM berbeda dengan percaloan yang sudah dikenal secara fikih, (ditinjau) dari empat sisi, yaitu:
Pertama : Dalam percaloan, tidak disyaratkan pada si calo agar membeli produk dagangan dari orang yang dia perantarakan, (akan tetapi) si calo hanya sebagai perantara antara si pemilik barang (penjual) dan si pembeli.
Adapun dalam sistem bisnis perusahaan-perusahaan MLM, pembelian produk dan pemilikan markas kerja (bisnis) (oleh setiap anggotanya, Red) adalah syarat diterimanya seseorang sebagai distributor (anggota). Maksudnya, distributor (harus) membayar sejumlah uang supaya ia (bisa tetap) menjadi distributor. Dan demikian ini (justru) berlawanan dengan percaloan.
Kedua : Peraturan PT Biznas tidak membolehkan seseorang untuk mendaftarkan langsung (anggota baru) yang berada di bawahnya lebih dari dua anggota. Orang yang berada pada urutan lebih dari dua, didaftarkan (dan diposisikan, Red) di bawah anggota terakhir di bawah jaringannya. Ini berarti, ada beberapa kalangan dari bisnis jaringan ini yang mengambil keuntungan dari usaha orang-orang yang berada di atas mereka, dan (terus) menerima komisi dari perusahaan sebagai keuntungan hasil distribusi produk, yang mereka (ini), sama sekali tidak berjerih payah memasarkannya (mendistribusikannya).
Maka apabila item ini dihubungkan dengan (item, point pertama, Red) yang sebelumnya, sangat jelas bahwa peraturan perusahaan ini melarang distributor yang bukan anggota (untuk mendapatkan haknya, Red.) dan memberikan (keuntungan kepada, Red.) anggota yang (sudah) bukan (lagi sebagai) distributor.
Dari sini, nampak jelas penyelisihan yang dilakukan perusahaan ini dan jauhnya dari sistem percaloan yang sudah dikenal. Perusahaan ini mewajibkan dirinya untuk memberikan keuntungan kepada anggotanya -tanpa melihat jerih payah (masing-masing dari) mereka dalam memasarkan produknya-. Berbeda halnya dengan percaloan. Komisi dihasilkan oleh orang yang memasarkan dan menjual (langsung). Dan orang yang tidak berusaha (menjual atau memasarkan barang) tidak dapat ikut serta menikmati upah (atau keuntungan) tersebut.
Ketiga : Seorang calo mendapatkan komisi karena usahanya dalam memasarkan dan menjual barang untuk satu orang atau sejumlah orang. Dan dia, sama sekali tidak memiliki hubungan dengan apa yang telah dilakukan oleh pembeli barang tersebut (setelahnya). Hubungan terhenti dengan terjadinya transaksi jual beli antara calo dan pembeli.
Adapun (dalam) MLM ini, maka si penjual tidak akan mendapatkan komisi (atas penjualannya), kecuali apabila ia (berhasil) memasarkannya kepada para distributor (baru) lainnya. Lalu mereka(pun) menjual (barang tersebut) untuk dipasarkan lagi oleh para distributor (baru). Sehingga, (sesungguhnya) ia memasarkan untuk orang yang memasarkan kepada orang yang memasarkan kepada orang yang memasarkan…begitu seterusnya!! Dan ia tidak akan mendapatkan komisi, kecuali dengan cara seperti ini. Maka (dalam hal ini), orang yang berada di dalam jaringan piramida tersebut tidak ada (yang bisa) merasakan maslahat dengan memanfaatkan atau menggunakan produk tersebut, kecuali dengan cara memasarkannya lagi kepada pemasar (baru) lainnya.
Keempat : Berdasarkan (kesimpulan di atas), bahwa pemasaran produk bukanlah maksud utama dalam bisnis MLM, akan tetapi hanya sebagai kedok peraturan-peraturan untuk menghimpun keikutsertaan (anggotanya) dan merekrut anggota, agar terbangun jaringan piramida. (Sehingga), jika sebuah produk tidak ada dalam maksud dari suatu pemasaran, maka kuranglah satu rukun (dari rukun-rukun) sahnya akad percaloan yang sesungguhnya, yaitu (adanya) barang.
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa peraturan PT Biznas dan perusahaan-perusahaan lain yang sejenis dengannya, sama sekali tidak ada hubungannya dengan akad percaloan.
FATWA
Berdasarkan penjelasan yang telah lalu, (Majma’ al Fiqh al Islami) mengeluarkan fatwa pada sebuah musyawarah bernomor 3/24, tanggal 17 Rabi’ul Akhir 1424 H, bertepatan dengan 17 Juni 2003 M, sebagai berikut:
1. Bahwa menjadi anggota di PT Biznas -dan yang semisalnya dari perusahaan-perusahaan berbasis sistem bisnis berjaringan (Multi Level Marketing)- tidak dibolehkan secara syariat, karena hal itu sebagai (bentuk) perjudian.
2. Bahwa peraturan PT Biznas -dan yang semisalnya dari perusahaan-perusahaan berbasis sistem bisnis berjaringan (Multi Level Marketing)- sama sekali tidak ada hubungannya dengan akad percaloan -sebagaimana yang telah didengungkan perusahaan tersebut, juga sebagaimana apa yang telah mereka usahakan dari perancuan kepada sebagian ulama yang (akhirnya mereka) berfatwa dengan membolehkan hal ini, karena ini adalah percaloan- dari seputar pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada mereka, dan menggambarkan perkaranya kepada mereka tidak sesuai dengan hakikatnya.
Atas dasar ini, (al Majma’) menyarankan kepada semua pihak (yang memberikan) perizinan untuk mencabut segala bentuk surat perizinan perusahaan-perusahaan berbasis sistem bisnis berjaringan (Multi Level Marketing), dan tidak (lagi) memberikan surat perizinan (dalam bentuk) apapun untuk praktek semacam ini, kecuali setelah mengembalikan perkaranya kepada (Majma’ al Fiqh al Islami). Allah Maha Pemberi taufiq.
Tertanda
Prof. Dr. Ahmad Khalid Ba Bakar
Penanggung Jawab Majma’ al Fiqh al Islami
[Penjelasan Majma' Al-Fiqh Al-Islami di majalah As-Sunnah disertai komentar Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, karena luas dan panjangnya pembahasan. Almanhaj untuk sementara tidak memuatnya, Insya Allah kedepannya akan dimuat secara lengkap. -admin]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun IX/1426H/2005. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo ]
Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/2220/slash/0
Comments (0)
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.