Hukum seorang Muslim yang menikah dengan wanita Ahli Kitab
[Yang Merdeka, Yang Berstatus Sebagai Ahli Dzimmah [1], Dan Yang Menjaga Kehormatannya]
Oleh : Humaidhi bin Abdul Aziz bin Muhammad Al-Humaidhi
Di kalangan para ulama ada dua pendapat dalam masalah ini.
Pendapat Pertama.
Seorang muslim halal menikahi wanita-wanita Ahli Kitb, baik yang merdeka, yang berstatus sebagai Ahli Dzimmah, ataupun yang menjaga kehormatannya. Ini adalah pendapat jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah [2], Malikiyah [3], Syafi’iyah [4], dan Hanabilah (Hanbali) [5].
Pendapat Kedua.
Seorang muslim haram menikahi wanita-wanita Ahli Kitab, baik yang merdeka, yang berstatus sebagai Ahli Dzimmah ataupun yang menjaga kehormatannya.
Pendapat ini dinukil dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dan ia menjadi pendapat Syi’ah Imamiyah [6].
Dalil-Dalil Pendapat Di Atas.
Pendapat Pertama : Yaitu pendapat jumhur ulama, mereka berdalil dengan dalil-dalil sebagai berikut.
[a]. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu” [Al-Maidah : 5]
[b]. Perilaku para sahabat, karena mereka telah menikahi wanita-wanita yang bersetatus sebagai Ahli Dzimmah dari Ahli Kitab. Misalnya Utsman Radhiyallahu ‘anhu, beliau telah menikahi Nailah binti Al-Gharamidhah Al-Kalbiyyah, padahal ia seorang wanita Nasrani, lalu masuk Islam dengan perantara beliau. Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu menikah dengan seorang wanita Yahudi dari Al-Madain.
[c]. Jabir Radhiyallahu ‘anhu ditanya tentang hukum seorang muslim menikahi wanita-wanita Yahudi dan Nasrani. Maka beliau menjawab : “Kami telah menikahi mereka pada waktu penaklukan kota Kufah bersama Sa’ad bin Abi Waqqash” [7]
[d]. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai orang-orang Majusi.
“Berbuatlah kalian kepada mereka seperti yang berlaku bagi Ahli Kitab, selain menikahi wanita-wanita mereka dan tidak makan daging sembelihan mereka” [8]
[Yang Merdeka, Yang Berstatus Sebagai Ahli Dzimmah [1], Dan Yang Menjaga Kehormatannya]
Oleh : Humaidhi bin Abdul Aziz bin Muhammad Al-Humaidhi
Di kalangan para ulama ada dua pendapat dalam masalah ini.
Pendapat Pertama.
Seorang muslim halal menikahi wanita-wanita Ahli Kitb, baik yang merdeka, yang berstatus sebagai Ahli Dzimmah, ataupun yang menjaga kehormatannya. Ini adalah pendapat jumhur ulama dari kalangan Hanafiyah [2], Malikiyah [3], Syafi’iyah [4], dan Hanabilah (Hanbali) [5].
Pendapat Kedua.
Seorang muslim haram menikahi wanita-wanita Ahli Kitab, baik yang merdeka, yang berstatus sebagai Ahli Dzimmah ataupun yang menjaga kehormatannya.
Pendapat ini dinukil dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dan ia menjadi pendapat Syi’ah Imamiyah [6].
Dalil-Dalil Pendapat Di Atas.
Pendapat Pertama : Yaitu pendapat jumhur ulama, mereka berdalil dengan dalil-dalil sebagai berikut.
[a]. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu” [Al-Maidah : 5]
[b]. Perilaku para sahabat, karena mereka telah menikahi wanita-wanita yang bersetatus sebagai Ahli Dzimmah dari Ahli Kitab. Misalnya Utsman Radhiyallahu ‘anhu, beliau telah menikahi Nailah binti Al-Gharamidhah Al-Kalbiyyah, padahal ia seorang wanita Nasrani, lalu masuk Islam dengan perantara beliau. Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu menikah dengan seorang wanita Yahudi dari Al-Madain.
[c]. Jabir Radhiyallahu ‘anhu ditanya tentang hukum seorang muslim menikahi wanita-wanita Yahudi dan Nasrani. Maka beliau menjawab : “Kami telah menikahi mereka pada waktu penaklukan kota Kufah bersama Sa’ad bin Abi Waqqash” [7]
[d]. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai orang-orang Majusi.
“Berbuatlah kalian kepada mereka seperti yang berlaku bagi Ahli Kitab, selain menikahi wanita-wanita mereka dan tidak makan daging sembelihan mereka” [8]
Sedangkan Pendapat Kedua : Mereka berdalil dengan dalil-dalil sebagai berikut.
[a]. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman” [Al-Baqarah : 221]
Sisi pengambilan dalil dari ayat tersebut adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkan nikah dengan wanita musyrik dalam ayat ini. Padahal wanita Ahli Kitab adalah orang musyrik. Dalam menyatakan bahwa wanita Ahli Kitab itu adalah orang musyrik, mereka berdalil dengan sebuah riwayat yang shahih dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwa beliau pernah ditanya tentang hukum menikah dengan wanita-wanita Nashrani dan Yahudi. Maka beliau menjawab : “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan bagi orang-orang yang beriman menikah dengan wanita-wanita musyrik. Dan, saya tidak mengetahui ada kemusyrikan yang lebih besar daripada seorang wanita yang mengatakan Rabb-nya adalah Nabi Isa. Padahal beliau adalah salah seorang hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala” [9] [HR Al-Bukhari dalam Shahih-nya]
[b]. Mereka juga berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [Al-Mumtahanah : 10]
Sisi pengambilan dalil dari ayat tersebut adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang tetap berpegang teguh pada ikatan pernikahan dengan perempuan-perempuan kafir. Padahal perempuan-perempuan Ahli Kitab termasuk perempuan-perempuan kafir. Sementara larangan (An-Nahyu) dalam ayat tersebut bermakna haram.
Diskusi Seputar Dalil-Dalil Di Atas
Jumhur ulama telah mendiskusikan (mengkritisi) dalil-dalil pendapat kedua dengan penjelasan sebagai berikut.
[1]. Diskusi Dalil Pertama.
Yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman” [Al-Baqarah : 221]
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya ayat tersebut telah dimansukh (dihapus) dengan ayat yang tertera di dalam surat Al-Maidah, yakni firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu” [Al-Maidah : 5]
Demikian pula bahwa dalil yang dijadikan hujjah oleh mereka adalah bersifat umum (‘amm), yang mengandung arti setiap wanita kafir, sedangkan ayat yang kami bawakan ini adalah bersifat khusus (khas), yang menyatakan halal menikahi wanita Ahli Kitab. Padahal dalil yang bersifat khusus itu wajib didahulukan.[10]
[2]. Diskusi Dalil Kedua.
Yaitu tentang pernyataan Ibnu Umar : “Saya tidak mengetahui ada kesyirikan yang lebih besar daripada seorang wanita yang mengatakan Rabb-nya adalah Nabi Isa”. Maka dapat dijawab : “Bahwa ayat ini mengkhususkan wanita-wanita Ahli Kitab dari wanita-wanita musyrik secara umum. Maka dalil yang bersifat umum harus dibangun di atas dalil yang bersifat khusus” [11]
[3]. Diskusi Dalil Ketiga
Yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [Al-Mumtahanah : 10]
Ibnu Qudamah mejelaskan : “Lafadz musyrikin (orang-orang musyrik) secara mutlak itu tidak mencakup Ahli Kitab, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut.
“orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya)…”[Al-Bayyinah : 1]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman.
“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik” [Al-Bayyinah : 6]
Maka anda akan mendapatkan bahwa Al-Qur’an sendiri membedakan antara kedua golongan tersebut. Al-Qur’an telah menunjukkan bahwa lafadz ‘musyrikin’ (orang-orang musyrik) secara mutlak itu tidak mencakup Ahli Kitab.
Jadi firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir” [Al-Mumtahanah : 10]
Adalah bersifat umum (‘amm), yang mengandung arti setiap wanita kafir, sedangkan ayat yang kami bawakan ini adalah bersifat khusus (khash), yang menyatakan halal menikahi wanita Ahli Kitab. Padahal dalil yang besifat khusus itu wajib didahulukan.
Setelah diskusi singkat ini, jelaslah bagi kita bahwa semua dalil para ulama yang menyatakan haram menikahi wanita Ahli Kitab adalah lemah, dan tidak ada satupun dalil yang shahih. Adapun yang lebih rajih (unggul) adalah pendapat jumhur ulama yang menyatakan halal menikahi wanita-wanita mereka (Ahli Kitab).
Berkaitan : .. Di kalangan para ulama yang menyatakan halal menikahi wanita-wanita Ahli Kitab sendiri, yaitu jumhur ulama, mereka masih berbeda pendapat tentang menikahi wanita-wanita Ahli Kitab, apakah hukum halal itu boleh secara muthlak ataukah boleh namun makruh hukumnya?
Dalam masalah ini terdapat tiga pendapat.
Pendapat Pertama.
Menikahi wanita-wanita Ahli Kitab adalah boleh namun makruh hukumnya. Ini adalah pendapat sebagian madzhab Hanafiyah [12], pendapat madzhab Malikiyah [13], Syafi’iyah [14], dan Hanabilah [15].
Pendapat Kedua
Menikahi wanita-wanita Ahli Kitab adalah boleh secara mutlak, tidak makruh sama sekali. Ini adalah pendapat sebagian madzhab Malikiah, di antara mereka ada Ibnu Al-Qasim dan Khalil, dan itu merupakan pendapat imam Malik [16].
Pendapat Ketiga
Az-Zarkasyi dari kalangan madzhab Syafi’iyah berkata : “Kadangkala hukumnya menikahi wanita Ahli Kitab bisa sunnah (istihbab), apabila wanita tersebut dapat diharapkan masuk Islam. Pasalnya, ada riwayat bahwa Utsman Radhiyallahu ‘anhu telah menikah seorang wanita Nashrani, kemudian wanita itu masuk Islam dan ke-islamannya pun baik” [17]. Ini adalah pendapat yang marjuh (lemah) dari kalangan madzhab Syafi’iyah.
[Disalin dari kitab Akhkaamu Nikaakhu Al-Kuffaar Alaa Al-Madzhabi Al-Arba’ah, Penulis Humaidhi bin Abdul Aziz bin Muhammad Al-Humaidhi, edisi Indonesia Bolehkah Rumah Tangga Beda Agama?, Penerbit At-Tibyan, Penerjemah Mutsana Abdul Qahhar
__________
Foote Note
[1]. Ahli dzimmah adalah orang-orang bukan Islam yang berada di bawah perlindungan pemerintah Islam.
[2]. Syarh Fath Al-Qadir III/228, Bada’i Ash-Shana’i II/270, Hasyiyah Ibnu Abidin III/45 dan Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq oleh Az-Zailaiy II/109 terbtan Daar Al-Ma’rifah, Beirut.
[3]. Al-Fawakih Ad-Diwani II/42, Bidayah Al-Mujtahid II/44 dan Al-Kafi oleh Ibnu Abdil Barr II/543
[4]. Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab XVI/232, Mughni Al-muhtaj III/187 Raudhah Ath-Thalibin VII/132 dan Alaihis salam Sail Al-Jarar Al-Mutadaffiq Ala Hadaiq Al-Zhar II/253 terbitan Al-Daar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut.
[5]. Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah VI/589 dan Syarh Muntaha Al-Iradaat III/236
[6]. Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab XVI/233, Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah VI/590 dan Fath Al-Qadir oleh Asy-Syaukani I/15
[7]. Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab XVI/232
[8]. Tanwir Al-Hawalik Syarh Al-Muwaththa Malik, kitab Az-Zakaat I/263
[9]. Fathul Baari Syarh Shahih Al-Bukhari, kitab Ath-Thalaq IX/416 terbitan Daar Al-Ma’rifah, Beirut
[10]. Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah VI/590
[11]. Lihat Tafsir Fath Al-Qadir oleh Asy-Syaukani II/15
[12]. Tabyin Al-Haqa-iq Syarh Kanzu Ad-Daqa-iq II/109
[13]. Al-Fawakih Ad-Diwani II/43
[14]. Takmilah Al-Majmu 16/232
[15]. Al-Furu oleh Ibnu muflih V/207
[16]. Al-Fawakih Ad-Diwani II/43
[17]. Mughni Al-Muhtaj III/187
Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/2192/slash/0
Comments (0)
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.